Penduduk Asli " Ata Ende "
PENDAHULUAN
Sebuah sejarah sejatinya mengungkapkan sebuah
realitas sebenarnya atas segala sesuatu yang terjadi pada masa kejayaannya.
Sejarah yang dikaburkan merupakan kejahatan terhadap
generasi, sebab sejarah bukan sekedar bacaan belaka namun menggambarkan
identitas kita dalam fase kehidupan hingga terbentuk karakter diri dan
lingkungan sekitar menjadi sebuah tradisi dan atau budaya.
Dan ketika sejarah dijadikan sebuah alat untuk melanggengkan
kekuasaan, maka hal tersebut akan menjadi fatal adanya karena, suatu saat,
generasi generasi kemudian akan membongkarnya....Dan sekaranglah saatnya kita
mencoba untuk membongkar tabir kejayaan masa lalu, Ata Ende, yang terjadi pada
masa kekuasaan Mosazaki, Kolonialisme dan Kerajaan...
A. ASAL USUL NENEK MOYANG “ ATA ENDE “
Berbicara
tentang asal usul dan atau peradaban suatu suku bangsa (manusia) di suatu
wilayah tentu sangat tergantung kepada aktifitas dan kondisi lingkungan yang
melingkupi suku bangsa tersebut.
Suku Ende, “ ata ende “, berdiam di suatu
kawasan yang melingkupi laut, pantai, bukit dan pegunungan yang memungkinkan
mereka berjalan dan berlayar dari suatu tempat ke tempat yang lainnya baik
secara perorangan maupun kelompok.
Pada
zaman dulu kawasan Laut Sawu telah
menjadi semacam tol laut yang terintegrasi sebagai jalur transportasi dan
perdangangan yang memungkinkan terjadinya proses migrasi para pendatang dari
luar “ nua ende “ dengan penduduk asli, “ ata ende “ yang berdiam di teluk
ende.
PENDUDUK ASLI, “ ATA
ENDE “
Tentang asal usul penduduk asli, ata ende,ada beberapa tradisi lisan
(mitos) yang diceritakan secara turun temurun sebagai berikut :
v
Mitos
Roroe dan Modo
S.Roos, dalam bukunya “ Lets Over Ende “,
(1872) hal.481, diceritakan bahwa : “
Dikatakan bahwa pada masa lampau terdapat sepuluh silsilah keluarga ( sepoeloe
lappies), yang berasal dari seorang laki laki muda bernama Roroe dan seorang
gadis bernama Modo. Mereka disebutkan mempunyai tempat tinggal dari daun
lontar, dengan langit sebagai atapnya dan Noesa Endeh sebagai pijakannya “.
Kehadiran Roroe dan Modo
menjadikan mereka adalah manusia pertama yang ada di pulau Ende. Mereka
kemudian mempunyai lima orang anak, namun anak terakhirnya dipindahkan
(dihukum) ke tempat lain karena tidak patuh kepada ibunya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari hari, mereka mencari ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan, berobs
dan boeboek.
Konon pada suatu ketika
ketiga anak Roroe dan Modo, yaitu Borokanda, Rako Madenga, dan Keto Koewa,
mendayung perahu mereka menuju ke suatu tempat di pulau lain, yang telah mereka
pasang berobs dan boeboek pada hari sebelumnya. Di Pulau lain yang memiliki
daratan luas itu, mereka bertiga bertemu dengan seorang laki laki yang bernama Amboe
Nggobhe. Ia merupakan seorang toean tanah yang bertempat tinggal di
sekitar Pegunungan Sadraga di suatu wilayah, di daratan yang luas itu.
Saat itu Ambu Nggobhe
sedang mencari seorang laki laki yang pandai untuk dinikahkan dengan putrinya
melalui lomba menangkap ikan. Untuk itu Ambu Nggobhe mengumumkan bahwa : “ Ia
telah membayar sebidang tanah, sebuah tempat pemelihaaraan gajah yang sangat
luas, dan sebuah kalung emas. Dan benda yang harus diserahkan oleh peserta
lomba adalah berobs dan sebuah kalung yang ada di kapal serta menyiapkan
kayu untuk membangun sebuah rumah di arah timurlaut teluk...”. Singkat cerita
akhirnya ketiga anak laki laki Roroe dan Modo itu, mengikuti lomba tersebut dan
salah satunya berhasil menjadi pemenang lomba serta menikah dengan putri Ambu
Nggobhe. Sementara itu putri Ambu Nggobhe yang lainnya mendapat pasangan dengan
laki laki yang berasal dari Majapahit, seorang
penarik Ikan ngambu (sejenis ikan
paus yang memiliki taring) yang sampai di Ende dan juga seorang Cina yang berdiam
di Ende kawin dengan puteri Ambu Nggobhe.
(...sehingga Putera Ambu Roroe dari pulau ende, Ambu Nggobhe dari pulau
besar, penarik ikan paus dari Majapahit, dan seorang Cina (nama dua orang yang
disebut terakhir tidak dikenal), merupakan nenek moyang yang memunculkan
silsilah dalam masyarakat nua ende.)
Catatan
: S.Roos- 1872 hlm.482 – 483
·
Tanah
ende terdiri dari satu negeri besar di dataran pesisir dengan batas batas
wilayahnya : Barat dengan teluk ende, Timur dengan teluk Ippi, Utara dengan
gunung gunung, Selatan dengan Gunung Meja, Roja, serta Tanjung.
·
Nusa
Ende terletak menyusur pantai dan tak terlihat dari pantai karena tertutup
pohon duri perang (cactus), jalan jalannya sempit berduri perang juga serta
terbagi atas lingkungan lingkungan :
Ai Wani Sapu, Ai Wani, Ai
Wani Tonda, Embuzima, Waniwona, Embugaga, Onekota.Potu, Aembonga, Pemo
Manubara, Kopo Sawu, Ambu Tonda. Ambu Wona, Ambu Dai, One Witu.Kuraro,
Kerimando, Reko
v
Mitos
Dori Woi
Diceritakan kepada B.B.C.M.M. Van
Suchtelen ( kontroleur onder afdeling ende ) bahwa atas kebaikan Dori Woi,
Sanga kula menjadi penduduk pertama Pulau Ende. Karena tidak mempunyai anak Ia
jadikan Raja Rejo anak angkat. Raja Redo pun tidak punya anak sehingga Ia
angkat Ambu Roru sebagai anak angkatnya.
Ambu
Roru kawin dengan Puteri Nur Laila berasal dari daun lontar dan mendapat dua
anak wanita, Ambu Modo dan Puteri Samasa. Puteri Samasa berangkat ke langit
dan menghilang kemudian turun lagi ke Luwuk dan kawin dengan putera Luwuk
sehingga menurunkan raja raja Luwuk di Sulawesi. Ambu Modo kemudian kawin
dengan Ambu Nggobhe dari Onewitu.Salah satu putera mereka bernama Mosa
Pi’o kawin dengan wanita Sumba dan kemudian kawin dengan wanita Nggela.
Mereka mempunyai dua orang anak putri, Soru dan Toni.
Soru
kawin dengan Lesu Bata dari Lika
(sikka) dan menurunkan raja raja Sikka. Toni kawin dengan Ambu Jua dari Ambutonda dan menurunkan raja raja Ende
v
Mitos
Koeraroe dan Noa Endeh
Sementara itu mitos kampung Koeraroe (kuzazo)
dan Noa Endeh (tanah ende) menjadi cerita lisan yang bersifat turun temurun
sendiri, yang mengisahkan seorang putri Tanggo yang hamil dari kerbau putih.
Ketika ayahnya ingin membunuh kerbau putih itu putri Tanggo
menghalanghalanginya karena kerbau
putih itu adalah suaminya. Ayahnya marah sehingga mengusir putri Tanggo dari
gunung ke lembah. Karena peristiwa ini putri Tanggo dikenal sebagai Amboe
Kora (ambu koza). Ia melahirkan anak laki laki dan diberi nama Raroe.
Mereka kemudian pindah ke nusa Endeh dan menetap bersama Sugi Mbo dan Mosa Pi’o (kerabat ambu nggobhe). Ketika terjadi
peperangan dengan Numba (sumba), Sugi Mbo dan Mosa Pi’o membantu Baraai melawan
Numba (sumba). Namun ketika Baraai dan Numba telah bersatu mereka terpaksa
meminta tanah untuk tempat tinggal kepada Ambu Nggobhe dari Ndetu Ko’u. Tanah
yang diberikan Ambu Nggobhe kepada Amboe Kora (koza) dan putranya,Raroe,menjadi
kampung yang disebut Koeraroe (kuzazzo). Sementara itu
sisa tanah, Sugi Mbo dan Mosa Pi’o mendirikan Nuo Endeh.
v
Mitos
Ndezo Keza.
Mitos ini ada dan diceritakan secara lisan turun temuran di
dalam lingkungan terbatas di Kampung Ambundai dan Kampung Onewitu, Kelurahan Kota
Ratu.
Diceritakan bahwa, jauh
sebelum kehadiran Ambu Ndezo Keza, telah hadir Ambu Kajo, laki laki yang
berasal dari Bambu (aur) dari Tomberabu dan yang perempuan berasal dari jeruk
bali (tuga) dari laut (kota jogo). Kehadiran Ambu kajo Aur dan Tuga menjadikan
mereka orang pertama yang mendiami Nua Ende dan dari mereka di masa lampau (
sepuluh lapis turunan) kemudian
memunculkan silsilah
masyarakat “ nua ende “ termasuk Ambu Ndezo keza.
Dikatakan bahwa Ambu Ndezo
Keza adalah kerabat (famili) dari Ambu Mosa Pi’o dan Ambu Nggobhe Nggedhe
(wozokaro), disebut Ndezo ” Keza “ karena memiliki kulit belang putih. Ia
adalah keponakan (ane) dari Mosa Pi’o dan bertunangan dengan anaknya Ambu
Nggobhe Nggedhe yang bernama AmbuToni. Dia menjabat sebagai Riabewa ( panglima
perang ) yang bermarkas di Onewitu (potu). Dalam kehidupannya, untuk memenuhi
kebutuhan sehari hari Ia mencari ikan dengan menggunakan alat tangkap ikan yang
disebut Ndaza (jala bintang) sehingga
oleh orang orang setempat Ambu Ndezo Keza juga dipanggil “ Ambu Ndaza “. Atau juga
dipanggil “ Ambu Au “ karena turunan dari Bambu (aur) atau Mosalaki Adat
(riabewa).
Kisah
Ambu Ndezo Keza dan Jari Jawa
Konon menurut cerita bahwa pada suatu
hari Ambu Ndezo Keza mencari ikan dengan menggunakan alat tangkap ikan,ndaza
(jala bintang), di sepanjang pantai teluk ende. Ketika sampai di pantai Mbomba
II, tempat biasanya Ambu Ndezo Keza beristarahat, Ia melihat ada orang asing
berdiam di dalam Gua di sebuah tebing pinggir pantai dengan membawa Tombak dan
Prisai. Didekatinya orang asing tersebut dan bertanya : “ Dari mana kamu dan
kenapa bisa berdiam di sini ?.” “ Saya dari jawa datang dengan menggunakan ikan
paus (ngambu) dan terdampar di pantai (gua) ini ”, jawab orang asing itu...Singkat
cerita, akhirnya diajaklah orang dari jawa itu ke Onewitu menghadap Mosalaki,
Mosa Pi’o. Oleh Mosa Pi’o orang dari jawa itu diterima secara baik dan
dijadikan sebagai saudara dari Ambu Ndezo Keza.
Di kisahkan bahwa beberapa tahun
kemudian setelah “Jari Jawa “ lama menetap di Onewitu Ia berkenalan dengan Ambu
Toni ( ratu witu ), salah satu Putri Ambu Nggobhe Nggedhe kerabat dari Mosa
Pi’o. Dari perkenalan itu akhirnya berkembang menjadi suka sama suka yang pada
akhirnya menimbulkan masalah karena Ambu Toni adalah tunangan Ambu Ndezo Keza.
Untuk menyelesaikan masalah ini maka dimintailah pendapat Ambu Ndezo Keza dan
Ambu Ndezo Keza menyarankan agar dilakukan lomba menendang bola antara dia dan
saudaranya,Jari Jawa. Bola (tendangan) siapa yang bisa masuk Jendela Kamar Ambu
Toni (ratu witu) maka Dia yang berhak mendapatkan Ambu Toni. Singkat cerita,
ternyata bola tendangan “Jari Jawa “ yang masuk ke Jendela Kamar Ambu Toni. Dan
Ambu Ndezo Keza,sebagai Panglima Perang dan Mosazaki Adat (riabewa) Nua Ende,
dia memberi kuasa kepada “Jari Jawa “ dan menetapkannya untuk tinggal bersama
Ratu Witu (ambu toni) di wilayah Ambu Wona (ambutonda) yang pada akhirnya
menurunkan (silsilah) Raja Ende. Tokoh “ Jari Jawa “ ini adalah Raden Kusen
Brawijaya.
v
Mitos
Waja Keppih
Dikisahkan bahwa pada jaman purba dulu di Pegunungan Kampung Keppih, turun
dari Langit sepasang Suami dan Istri, Raja Ratu Langi dan Putri Bidadari.
Keduanya hidup menggunakan peralatan,Tombak, Parang, Pisau yang terbuat dari
batu dan sehari hari yang dimakan hanya “Uwi
“ (ubi talas) dan ” Muku Api “ (pisang
api) karena saat itu belum ada Padi dan Jagung. Raja Ratu Langi dan Putri
Bidadari punya anak namanya, Waja Keppih yang beristri Ambu
Rapo. Waja Keppih dan Ambu Rapo memiliki 4 (empat) orang anak yaitu, Waja Ma’e, Waja Gege ( haji gede), Paraa Nuzi
(nuri), Rendu. Pada masa keturunan Waja Keppih dan Ambu Rapo inilah mulai
diperkenalkan Peralatan berbahan Logam dan bertani ( padi dan jagung).
Seiring dengan semakin berkembangnya
kehidupan yang semakin padat di Kampung Keppih, Waja Keppih memerintahkan
sebagian dari “ Kunu Saji “ (keluarga dekat) untuk keluar dari Kampung Keppih :
ü
Pertama,
Waja Kokah keluar, menuju Pegunungan Abu Lobo.
ü
Kedua,
Waja Rea keluar, menuju Keli Mbari ( pegunungan numba-nangapanda)
ü
Ketiga,
Tombe dan Rabu keluar, menuju Pegunungan Wolo Waru dan tidak boleh melewati
Pegunungan Kelimutu dan Lepembusu.
ü
Keempat,
Bawora keluar, menuju Perbatasan Ende – Lioo
Setelah itu beberapa waktu
kemudian Waja Keppih memerintahkan untuk membangun jalan dari Ujung Barat
menuju ke Ujung Timur :
·
Dari
Keo sampai dengan Watu Sekkoh, dikerjakan oleh Waja Kokah dan Anggotanya.
·
Dari
Watu Sekkoh – Watu Api s/d Perbatasan Ende-Lio oleh Waja Keppih dan Anggotanya
·
Dari
Perbatasan Ende-Lio s/d Ujung Nusa Ende ( pulau flores) oleh Bawora dan
Anggotanya.
Untuk mengamankan wilayah
(tanah) dari Keo (watu api) sampai dengan Perbatasan Wilayah Nusa Ende / Nusa
Nipa, Wilayah Ende-Lio, Waja Keppih menugaskan untuk menjaga tanah, kepada :
Ø
Embu
Kajo dari Kapitan Rubuu, mulai dari Watu Sekkoh – Watu Api – sampai dengan Nangapanda (Pu’u Kungu).
Ø
Waja
Mengga, dari Nangapanda (pu’u kungu) – Nangakeo – Tengu Rongo.
Ø
Bani,
dari Nangakeo (tengu rongo) sampai dengan Zeze Muza (km.5).
Ø
Rewa
Rangga, dari Zeze Muza (km 5) sampai dengan Perbatasan Nusa Ende – Nusa Nipa,
Wilayah Ende-Lio.
Pengusiran
Kolonial Portugis
Diceritakan bahwa pada abad ke 16, pada
tahun 1529 – 1530, Paraa Norii (nuzi) sebagai Panglima Perang bersama saudaranya,
Waja Maee, Waja Gede (gege) dan para pengikut yaitu, Waja Riiy, Waja Imah, Waja
Baki, Waja Jare, Waja Mengga, Waja Lande, Waja Meti, Waja Pala melakuka pengusiran
Orang Portugis dari Kampung Pissu Raba, Numba menuju Nua Ende terus ke Pulau
Belu (timor) dan P.Sumba sampai aman.
Kembali dari Pulau Sumba, di
Nua Ende, mereka membentuk Markas Besar Pasukan di Onewitu.
Kesimpulan :
Bahwa berdasarkan Mitos yang disampaikan
atau pun yang ditulis kembali oleh Bangsa Kolonial ( portugis dan belanda) dan
juga mitos yang diproduksi oleh masyarakat yang tidak atau belum mengenal
budaya tulis (mitos ndezo keza dan mitos waja keppih) di atas, dapat disimpulkan
:
1)
“
Ata Ende “ itu, sudah ada dan mendiami Nusa Ende ( P.Flores) sebelum kedatangan
kolonial Portugis pada abad 16 (pigafeta, 1522).
2)
Wilayah
(tanah) yang menjadi pemukiman “ ata ende “ terbentang dari Bagian Barat Pegunungan
dan Pantai selatan Wilayah, Keo (tana jea, utte) – Nangapanda (rapowawo) – Pegunungan
Bo’feo – Pegunungan Wozokaro – Pegunungan Mbotu Tenda (tora) – Pegunungan Tomberabu
– Pegunungan Wongge dan Kengo sampai dengan Daerah Pegunungan Lepembusu,
Wologai (perbatasan ende – lio).
3)
Penobatan
atau Pengangkatan “ Jari Jawa “ atau Raden Kusen sebagai Raja Ende, itu terjadi
setelah abad 16. ( Pigafeta,1522 : “....pulau itu disebut Ende. Penduduknya kafir dan belum punya raja..” )
Komentar
Posting Komentar